BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini memang
membawa berbagai perubahan yang
menyentuh sampai pada dasar kehidupan manusia. Berbagai bentuk dinamika yang
terjadi didalam kehidupan masyarakat, yang mana kita bisa melihat didalam hal
pelayanan-pelayanan yang sekarang dilaksanakan oleh para dinas-dinas pelayanan.
Masalah tentang etika dalam pelayanan
publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas.
Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan masyarakat. Pelayanan
kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar selain pangan dan juga
pendidikan. Pelayanan kesehatan bukan salah monopoli rumah sakit saja. Penduduk
Indonesia yang jumlahnya melebihi 200 juta jiwa tidak mungkin harus bergantung
dari rumah sakit yang jumlahnya sedikit dan tidak merata penyebarannya.
Pelayanan kesehatan yang bermutu masih jauh dari harapan masyarakat, serta
berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu, maka UU Kesehatan Nomor 23 tahun
1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Pusat Pelayanan Kesehatan RSUD adalah organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata,
dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif
masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat.
Upaya kesehatan tesebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan
untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa
mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan RSUD biasanya berada
di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota.
Saat ini, pudarnya Ujung Tombak Pelayanan Kesehatan, demikian halnya RSUD menjadi
hal yang sangat disayangkan dibandingkan pada tahun 1980-an dimana pusat Pelayanan
Kesehatan terlihat sangat ramai dikunjungi pasien yang hendak berobat, yang
kini fenomena itu jarang terjadi. Sebagai pusat pelayanan RSUD, mestinya RSUD dapat
menjadi tempat rujukan pertama dengan pelayanan prima yang dapat menangani
berbagai masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat, dan yang lebih fatal
dimana petugas RSUD tidak begitu tanggap dengan pelayanan medis, tetapi lebih
menekankan administrasi.
Banyak masalah yang menjadi pemicu rendahnya pencitraan RSUD pada saat
sekarang. Sarana yang tidak lengkap seperti obat-obatan yang kurang bermutu
dari segi variasi, petugas yang kurang tanggap dengan pasien, keramahan yang
kurang dari pemberi layanan, sehingga masyarakat kurang puas setiap berobat ke
pusat pelayanan kesehatan ini. Disamping itu program RSUD yang kurang berjalan
menjadi pemicu rendahnya mutu pelayanan RSUD di mata masyarakat.
B.
Permasalahan
1.
Apakah pengertian etika pelayanan
kesehatan?
2.
Mengapa pentingnya etika pelayanan
kesehatan?
3.
Mengapa terjadi
permasalahan etika pelayanan kesehatan?
4.
Bagaimana cara mengatasi permasalahan
etika pelayanan kesehatan?
BAB
II
KERANGKA
PEMIKIRAN
Pengertian Kesehatan Masyarakat Menurut Winslow (1920) bahwa Kesehatan
Masyarakat (Public Health) adalah Ilmu dan Seni : mencegah penyakit,
memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui “Usaha-usaha
Pengorganisasian masyarakat “ untuk : (Notoatmodjo, 2003)
1.
Perbaikan
sanitasi lingkungan
2.
Pemberantasan
penyakit-penyakit menular
3.
Pendidikan untuk
kebersihan perorangan
4.
Pengorganisasian
pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan.
5.
Pengembangan
rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang
layak dalam memelihara kesehatannya.
Menurut Ikatan Dokter Amerika (1948) Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan
seni memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha
pengorganisasian masyarakat. Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa kesehatan
masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu
kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan
itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.
Pengertian
sehat menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi
yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial.
Pengertian
sehat juga terdapat dalam ketentuan WHO, 1950 yaitu sehat adalah keadaan
sejahtera fisik, mental dan social tidak hanya bebas dari sakit dan kelemahan.
Pengertian sehat menurut UU Pokok Kesehatan No. 9
tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi
kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan hanya
keadaan bebas dari penyakit,
cacat, dan kelemahan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Pelayanan Kesehatan
Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian
obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat,
kemampuan masyarakat. Konsep ini lebih
menekankan bagaimana pelayanan publik terutama pelayanan kesehatan berhasil
diberikan melalui suatu sistem yang sehat. Pelayanan kesehatan ini dapat
dilihat sehari-hari di RSUD ataupun puskesmas-puskesmas. Tujuan pelayanan
kesehatan adalah menyediakan obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik bagi
masyarakat. Obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian
pelayanan kesehatan yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap
masyarakat, kalau perlu melebihi harapan masyarakat.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan (health
service) identik dengan memberikan pelayanan jasa demi kepentingan masyarakat
luas. Dalam konteks ini pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan kepada bagaimana
elemen-elemen pelayan kesehatan seperti para tim medis melakukan pelayanan, dimana
pelayanan kesehatan identik dengan pengobatan yang merupakan bagian dari
manajemen ilmu kesehatan.
B.
Pentingnya Etika Pelayanan Kesehatan
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk
memisahkan antara administrasi dan politik (dikotomi) menunjukan bahwa
administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika
memberikan pelayanan kesehatan. salah satunya jasa pelayanan kesehatan. Akan
tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada
tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para
administrator dalam keputusan-keputusan publik dalam kebijakan pentingnya
pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat mulai memberikan
perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para tim medis
yang beprofesi dibidang pelayanan kesehatan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para
tim medis dibidang pelayanan kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian
kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi
juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public
interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan mendasar mengapa pelayanan
kesehatan harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan
masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah terutama dibidang pelayanan
kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan
beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah
kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens,
telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga
mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadarminta,
etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral),
sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai
1.
Ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
2.
Kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan
3.
Nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu
a)
Etika sebagai
nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem
nilai”.
b)
Etika sebagai
kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”;
c)
Sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah
tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih
menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri – yaitu apakah suatu
perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik
orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan
cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan
atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan
tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri
merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan
cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang
cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
C. Beberapa Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan
ü Realita yang terjadi saat ini, terkait dengan Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menjadi tidak relevan ditengah masyarakat yang
membutuhkan pelayanan dan penanganan sesuai dengan tujuan diadakannya program
kesehatan Gratis, program yang satu ini terlalu indah ditelinga Rakyat, namun
apakah realita yang terjadi dilapangan, apakah seindah pemaparan didalam tujuan
pokok diadakannya program itu, ataukah memang lahan bisnis bagi Oknum-oknum
tertentu, seperti halnya yang dialami oleh Penderita Tumor Ganas atas nama
Salahudin warga Dusun Madalibi Desa Madaprama, Kecamatan Woja Kabuapten Dompu ,Salahuddin
terdaftar sebagai peserta Jamkesmas pada PPK : 23050101- Puskemas Dompu Barat,
No. Peserta 0002512250605, atau kepesertaan : P/I/S/A peserta tanggal lahir 01/07/1972,
yang sudah sejak tanggal 20/10/2010 masuk Rumah Sakit Umum Dompu Akibat luka
dalam yang dialaminya pada rusuk bagian kiri, selama dua hari menginap dirumah
sakit yakni pada ruangan perawatan kelas I dengan harga Rp. 30.000,- (Tiga
Puluh Ribu Rupiah) Per hari total Rp. 60.000,- (Enam Puluh Ribu Rupiah) selama
dua hari, ditambah dengan biaya lain-lain sampai dengan Rp 363,000,- (tiga
Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah), Pembayaran berdasarkan ketentuan pihak
Rumah Sakit, yang memang pada saat awal masuk rumah Sakit, di Tanya oleh
petugas Rumah Sakit “apakah mau masuk kelas I atau Kelas II pak/bu?”, kira-kira
begitu dicontohkan oleh salah satu petugas RSUD dibagian yang menangani
Jamkesmas, pada saat Dinamika Info News menelusuri apakah nama Salahudin terkafer
atau tidak sebagai peserta Jamkesmas diruang registrasi Jaminan Kesehatan
gratis RSUD Dompu, 28/03/11.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan
yang sama oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien
adalah kelas I atau Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan
disebut namanya pada saat dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya
di Desa Madaprama 27/03/11.
Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah
mengetahui bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara
gratis, kenapa justru dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas
III yang bisa dipakai untuk tempat merawat penderita, “inikan sama halnya
program tersebut dibisniskan”, keluhnya.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan
yang sama oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien
adalah kelas I atau Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan
disebut namanya pada saat dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya
di Desa Madaprama 27/03/11.
Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah
mengetahui bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara
gratis, kenapa justru dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas
III yang bisa dipakai untuk tempat merawat penderita, “inikan sama halnya
program tersebut dibisniskan”, keluhnya.
Disamping
penjelasan tentang ruang mana saja yang berhak dipakai untuk merawat peserta
JAMKESMAS yang tidak jelas, yang terkesan menunjuk alias mengarahkan, penderita
agar menempati ruang yang ditunjuk oleh pihak Rumah Sakit Umum Dompu, imbuhnya.
Komentar pihak Dokter RSUD Dompu, begini pak!, “ruangan kelas III, ruangan itu
saja yang digratiskan,” kalau ruangan I dan II itu, ruangan untuk pasien Askes
Pegawai dan orang –orang tertentu saja, cetus salah satu yang mengetahui bahwa
Data Jamkesmas untuk nama Salahudin terdaftar sebagai peserta pada program
Pemerintah khususnya Jaminan Kesehatan Gratis Masyarakat itu dengan berapi-api,
sambil menarik tanda bukti pembayaran Rumah Sakit yang dibayarkan Keluarga
Salahudin pada saat merawat tujuh bulan yang lalu.
Ditempat
terpisah dr. H. Ahmad Faisal, spA. Selaku Direktur pada Rumah Sakit Umum Dompu
(RSUD) membantah kalau pihaknya yang menolak Jamkesmas yang dimiliki oleh
Salahudin, apalagi menyarankan kepada penderita maupun keluarganya untuk masuk
kelas lain selain kelas yang sudah ditentukan untuk Program Kesehatan Gratis
ini, ditambahkannya hal senada mungkin saja pihak pasien yang ada Kartu
Jamkesmasnya ini namun tidak terdaftar diregistrasi sebagai peserta pada
program itu, jika Salahudin terdaftar di registrasi itu, tidak ada alasan pihak
Rumah Sakit untuk membebankan kepada pasien dengan biaya-biaya, jelasnya pada
saat dikonfirmasi media ini diruang kerjanya 28/03/11.
Pelayanan Kesehatan yang diharapkan adalah pelayanan yang bermutu walaupu harus
dibayar, bagaimana jikalau digratiskan, sementara yang dibayar sekalipun
sakitnya tak kunjung sembuh alias makin parah, “Perut itu, kian hari makin
buncit”, sementara pihak keluarga penderita sudah menyurat Kepada Dinas
terkait, Bupati Dompu, dan DPRD, namun sejauh ini belum ada tanggapan serius
dari pihak-pihak diatas, keluhnya.
Pihak keluarga mengharapkan agar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu “Mundur
dari jabatan” jika tidak tanggap dengan persoalan rakyat, ungkapnya.
Dilanjutkannya, bahwa pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu, “senagaja tutup
mata dengan pederitaan yang dialami oleh Penderita tumor Ganas seperti
Salahudin ini, dan masih banyak persoalan yang sama diluar sana, yang sama
sekali diduga minimnya sosialisasi khususnya tentang kesehatan masyarakat
lainnya yang ada di Kabupaten Dompu. oleh karena itu, diharapkan Kepada
pengambil kebijakan agar jangan ada lagi Kepala Dinas yang hanya mementingkan
kepentingan dirinya sendiri tampa menghiraukan keluhan rakyat yang menjadi
tanggung jawabnya
Kenyataan
menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik
atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya,
tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru
mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal
ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain,
tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.
ü Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan
pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena
prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan
hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju
ü Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah
satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian
pelayanan kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana
sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya
baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai
cara terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.
ü Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan kesehatan mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan
inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku
yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan
teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak
dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak
adil, dsb
ü Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan
sebagai salah satu penyebab melemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Alasan
utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan
aturan hukum dan perundang-undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial
budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi
yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb.
Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip
service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri.
Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan
apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi
dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
ü Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan kesehatan. Kode
etik pelayanan kesehatan di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi
seperti ahli keperawatan, kebidanan dan kedokteran sementara kode etik untuk
profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak
perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika
moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap
apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan
kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk
mengenyampingkan kepentingan masyarakat umum. Kehadiran kode etik itu sendiri
lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai yang
bekerja dibidang kesehatan.
ü Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya
kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma
moralitas yang berlaku dalam pelayanan
kesehatan masih kurang maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma
moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih
membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi
beretika.
ü Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita
untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana
kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang-orang elit atau suku sendiri
merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi
masyarakat yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin
tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi
masyarakat terutama dalam pelayanan kesehatan.
ü
Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita
akan melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu
lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas
Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, mulai dari preventif,
kuratif, promotif dan rehabilitatif. Program Dinkes yang telah ada tidah
sepenuhnya berjalan dengan lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan
yang ditemui dalam masyarakat, misalnya ditemukan wabah gizi buruk pada balita
dibeberapa tempat di Indonesia. Hal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan
pertanggung jawaban dari pihak puskesmas setempat. Mungkin saja dikarenakan
peran serta masyarakat yang kurang terhadap lingkungan, dalam hal ini para ibu
yang tidak memperhatikan gizi anaknya mulai dari lahir sampai dewasa.
Konsep puskesmas seharusnya menjemput bola. Perannya
bukan hanya seperti rumah sakit yang menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah
terpencil yang sulit dijangkau, puskesmas harus mendekat ke masyarakat agar
mereka tidak terlanjur sakit. Bila masyarakat tidak dibina, dari 4 program
puskesmas yang harus ada, mereka rentan jatuh sakit, sehingga puskesmas akan
dinilai gagal karena pasien yang akan berobat akan semakin banyak, dan yang
lebih parah apabila mereka mengeluh dengan penyakit yang itu-itu saja.
C.
Cara Mengatasi Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan
ü Lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi
yang memberikan pelayanan kesehatan itu
sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam
organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt.
Dalam literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah
dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau
anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap
manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan
upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
ü Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa
kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat
implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi
tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu
sesuai dengan tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlu belajar dari negara
lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya,
kesadaran beretika dalam pelayanan kesehatan telah begitu meningkat sehingga
banyak profesi pelayanan kesehatan yang telah memiliki kode etik.
ü Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di
Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap berbagai dilema di
atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan kesehatan harus mempelajari
norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai
penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi
sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak
seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus
dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Harus ada kedewasaan untuk melihat
dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk
diterapkan.
Kesimpulan
Secara
umum kita telah mengetahui bahwa peranan pelayanan kesehatan yaitu sebagai organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan
terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan
hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang
dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut
diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas
guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan
kepada perorangan. Tetapi dinamika yang terjadi saat ini yaitu begitu banyak
penyalahgunaan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para tim medis maupun
oknum-oknum tertentu yang mana hal tersebut didasari oleh lemahnya moralitas sehingga
merugikan masyarakat terutama masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.
Dari dinamika yang terjadi ternyata Moralitas menjadi
dasar terpenting bagi setiap manusia didalam menjalankan profesinya baik
didalam hal pelayanan kesehatan maupun yang lainnya, oleh karna itu kita harus
bisa lebih mengenal dan memahami bahwa untuk melakukan pelayanan yang baik kita
harus memahami, Sistem nilai, Kode etik dan filsafat moral yang mana hal
tersebut dapat menjadi petunjuk untuk melakukan tingkah laku yang baik terutama
dari segi moral.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K.
2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.
Henry, Nicholas.
1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood
Cliffs, N. J: Prentice-Hall International, Inc.
Perry, James L.
1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass
Limited.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New
York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html
3.
Mengapa terjadi
permasalahan etika pelayanan kesehatan?
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu
c)
Sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan
yang sama oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien
adalah kelas I atau Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan
disebut namanya pada saat dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya
di Desa Madaprama 27/03/11.
ü Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan kesehatan mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan
inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku
yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan
teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak
dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak
adil, dsb
ü Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya
kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma
moralitas yang berlaku dalam pelayanan
kesehatan masih kurang maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma
moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih
membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi
beretika.
ü
Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita
akan melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu
lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas
Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, mulai dari preventif,
kuratif, promotif dan rehabilitatif. Program Dinkes yang telah ada tidah
sepenuhnya berjalan dengan lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan
yang ditemui dalam masyarakat, misalnya ditemukan wabah gizi buruk pada balita
dibeberapa tempat di Indonesia. Hal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan
pertanggung jawaban dari pihak puskesmas setempat. Mungkin saja dikarenakan
peran serta masyarakat yang kurang terhadap lingkungan, dalam hal ini para ibu
yang tidak memperhatikan gizi anaknya mulai dari lahir sampai dewasa.
ü Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di
Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap berbagai dilema di
atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan kesehatan harus mempelajari
norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai
penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi
sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak
seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus
dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Harus ada kedewasaan untuk melihat
dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk
diterapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar